Kapan Harus Gunakan Spot Instance di Cloud?

Mengenal Spot & Preemptible Instance: Hemat atau Nekat?

 Kalau kamu sudah sering main di dunia cloud, pasti pernah dengar istilah spot instance atau preemptible instance. Dua istilah ini sering muncul di layanan seperti AWS, Google Cloud Platform (GCP), atau bahkan Biznet Gio di Indonesia. Tapi, apa sebenarnya spot dan preemptible instance itu? Dan, apakah benar-benar bisa bikin pengeluaran cloud kamu jadi super hemat, atau justru malah bikin deg-degan setiap saat?

 Spot instance adalah cara cloud provider menjual kapasitas server yang sedang tidak terpakai. Ibaratnya, ini seperti kamu dapat tiket pesawat last minute dengan harga super murah karena kursinya belum terisi. Di AWS, spot instance bisa kamu dapat dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan on-demand instance—bahkan bisa sampai 90% lebih murah. Di GCP, konsep serupa disebut preemptible instance, tapi ada satu perbedaan utama: preemptible instance punya batas waktu hidup maksimal, biasanya hanya 24 jam. Setelah itu, siap-siap, instance kamu akan otomatis dihentikan.

 Harga murah memang sangat menggoda, apalagi kalau kamu sedang mencari cara menekan biaya cloud. Tapi, jangan lupa, ada risiko besar yang harus kamu terima. Spot dan preemptible instance bisa dihentikan kapan saja tanpa pemberitahuan panjang. Kalau ada klien lain yang mau membayar lebih mahal untuk kapasitas yang sama, instance kamu bisa langsung “ditendang”. Research shows, “Spot Instances are ideal for workloads that can tolerate interruptions and benefit from steep discounts.” Jadi, kamu harus siap dengan kemungkinan aplikasi atau proses yang sedang berjalan tiba-tiba berhenti di tengah jalan.

 Lalu, kapan sebaiknya kamu memilih spot atau preemptible instance? Skenario idealnya adalah untuk pekerjaan yang sifatnya stateless atau tidak masalah jika diulang, seperti batch job, CI/CD pipelines, atau aplikasi yang bisa dengan mudah di-restart. Misal, kamu punya proses data analytics yang bisa diproses ulang jika gagal, atau pipeline build yang bisa otomatis jalan lagi kalau terputus. Di sinilah spot instance jadi sangat masuk akal.

 Tentu saja, kamu juga perlu strategi fallback. Misalnya, gunakan checkpoint pada batch job, atau siapkan auto-scaling group yang bisa langsung menggantikan instance yang mati. Bandingkan dengan on-demand atau reserved instance yang lebih stabil dan tidak mudah dihentikan, tapi harganya jelas lebih mahal. Reserved instance bahkan mengharuskan kamu berkomitmen 1-3 tahun, cocok untuk workload yang sangat predictable.

 Jadi, spot dan preemptible instance memang bisa jadi solusi super hemat, tapi kamu harus paham betul risikonya. Jangan sampai tergiur harga murah tanpa persiapan matang, apalagi untuk aplikasi yang butuh uptime tinggi.

Keuntungan & Risiko: Perbandingan Spot, On-Demand, dan Reserved Instance

 Kalau kamu sudah mulai eksplorasi cloud, pasti pernah dengar istilah spot instance, on-demand, dan reserved instance. Masing-masing punya keunggulan dan risiko tersendiri, dan pemilihan yang tepat bisa sangat berpengaruh ke biaya operasional cloud kamu. Mari kita bahas satu per satu secara praktis.

  • Spot Instance: Super Murah, Tapi Mudah ‘Hilang’
         Spot instance itu seperti promo dadakan di cloud. Harganya bisa super murah—bahkan riset menunjukkan potongan harga bisa sampai 90% dibanding on-demand. Tapi, ada harga yang harus dibayar: spot instance bisa “ditarik” kapan saja oleh provider, kadang hanya dengan pemberitahuan beberapa menit. Jadi, kalau workload kamu harus selalu jalan tanpa gangguan, spot instance jelas berisiko. Namun, untuk pekerjaan seperti batch job, CI/CD pipeline, atau aplikasi stateless, spot instance adalah pilihan cerdas untuk menghemat biaya.  
  • On-Demand: Fleksibel, Tanpa Komitmen, Harga Paling Mahal
         On-demand instance adalah opsi paling fleksibel. Kamu bisa pakai kapan saja, tanpa perlu komitmen jangka panjang. Tapi, fleksibilitas ini datang dengan harga yang paling mahal. Cocok untuk workload yang tidak bisa diprediksi atau kebutuhan mendadak. Namun, jika dipakai terus-menerus, biaya bisa membengkak tanpa terasa.  
  • Reserved Instance: Diskon Besar, Tapi Harus “Janji Setia”
         Kalau kamu sudah tahu workload akan stabil dan berjalan lama, reserved instance jadi solusi. Dengan komitmen 1-3 tahun, kamu dapat diskon signifikan—kadang sampai 70% dari harga on-demand. Tapi, kamu harus siap “janji setia” dan membayar di muka atau secara cicilan. Reserved instance sangat cocok untuk workload konsisten seperti database utama perusahaan atau aplikasi yang traffic-nya stabil.  

Research shows bahwa strategi terbaik adalah menyesuaikan model instance dengan pola penggunaan aplikasi. Misal, workload yang bisa mati dan hidup sewaktu-waktu, seperti rendering video atau data processing, sebaiknya pakai spot instance. Tapi untuk aplikasi yang tidak boleh mati, seperti sistem pembayaran atau database utama, lebih aman pilih reserved atau on-demand.

 Perbandingan harga cloud juga sangat dipengaruhi oleh provider, region, dan jenis instance. Misalnya, Oracle Cloud Infrastructure seringkali menawarkan harga lebih murah untuk tipe tertentu, sementara Google Cloud cenderung sedikit lebih mahal dibanding AWS dan Azure. Jadi, penting untuk selalu cek kebutuhan aplikasi dan pola penggunaan sebelum menentukan model instance yang paling pas.

Kapan Spot Instance Layak Coba? Skenario Dunia Nyata & Cerita Gagal

 Kamu mungkin sudah sering dengar soal spot instance atau preemptible instance di cloud seperti AWS, GCP, atau Biznet Gio. Intinya, ini adalah tipe mesin virtual yang disewakan dengan harga jauh lebih murah—kadang bisa hemat sampai 90% dibanding on-demand. Tapi, ada satu risiko besar: instance ini bisa dihentikan kapan saja oleh provider, biasanya dengan pemberitahuan sangat singkat. Jadi, kapan sih sebenarnya spot instance itu layak dicoba, dan kapan sebaiknya kamu menghindar?

Research shows spot instance sangat cocok untuk workload yang fault-tolerant atau mudah diulang. Contohnya, batch job seperti proses data harian, training AI, atau rendering video. Kalau tiba-tiba instance dihentikan, kamu tinggal jalankan ulang prosesnya. Tidak ada data penting yang hilang, hanya sedikit waktu yang terbuang.

  • Batch job yang bisa diulang: Misal kamu punya proses ETL harian, training machine learning, atau simulasi yang bisa dipause dan dilanjut. Spot instance sangat efisien di sini.  
  • Pipeline CI/CD: Build dan test otomatis biasanya tidak masalah kalau instance tiba-tiba mati. Tinggal ulang build, selesai. Banyak tim DevOps yang sudah mengotomasi pipeline mereka agar tahan banting terhadap gangguan spot.  
  • Stateless app: Web crawler, API gateway, atau microservice yang tidak menyimpan data penting di instance juga cocok pakai spot. Kalau instance mati, load balancer bisa langsung arahkan ke instance lain.  

 Aku sendiri pernah migrasi beberapa microservice ke spot instance seharian penuh. Awalnya deg-degan, tapi ternyata deploy ulang gampang banget selama kamu sudah punya automation yang baik. Namun, pengalaman pahit juga pernah terjadi: deploy gagal total karena spot mendadak hilang, dan waktu itu belum ada fallback. Akhirnya, aku sadar, strategi fallback itu wajib—misal, auto-switch ke on-demand saat spot tidak tersedia.

 Jangan lupa, spot instance tidak cocok untuk semua workload. Misalnya, database utama, aplikasi stateful, atau sistem yang butuh uptime tinggi. Di sini, lebih aman pakai on-demand atau reserved instance yang lebih stabil, meski harganya lebih mahal.

 “Pahami workload-mu, jangan asal ikut tren—spot nggak cocok untuk semua kasus.”

 Kesimpulannya, spot instance memang menggiurkan untuk menghemat biaya, tapi kamu harus benar-benar tahu kapan dan bagaimana menggunakannya. Jangan sampai tergiur murah, tapi akhirnya malah rugi waktu dan tenaga.

Strategi Fallback: Jangan Panik Ketika Spot Instance Hilang

 Menggunakan spot instance atau preemptible instance di cloud memang menawarkan penghematan biaya yang signifikan—bahkan bisa sampai 90% lebih murah dibandingkan on-demand. Tapi, risiko utama yang harus kamu hadapi adalah kemungkinan instance tersebut dihentikan secara tiba-tiba oleh provider, seperti AWS, GCP, atau Biznet Gio. Nah, supaya kamu tidak panik saat spot instance hilang, ada beberapa strategi fallback yang bisa diterapkan agar workload tetap berjalan mulus.

Pakai Autoscaling Group dan Mixed Instance Policies

 Salah satu strategi paling efektif adalah memanfaatkan autoscaling group. Dengan fitur ini, jika spot instance kamu tiba-tiba mati, sistem bisa langsung meluncurkan instance baru—baik itu spot, on-demand, atau bahkan reserved instance. Di AWS dan GCP, ada fitur mixed instance groups yang otomatis mengalihkan workload ke jenis instance lain jika spot tidak tersedia. Jadi, workload kamu tetap berjalan tanpa perlu intervensi manual.

Pisahkan Data dari VM

 Sangat penting untuk memastikan persistensi data di luar VM. Simpan data di cloud storage atau database terpisah, bukan di disk lokal instance. Dengan begitu, meskipun instance spot mati, data kamu tetap aman dan bisa langsung diakses oleh instance pengganti. Ini adalah prinsip utama dalam membangun aplikasi stateless yang tahan banting.

Monitoring & Real-Time Alert

 Jangan lupa, monitoring dan alert real-time adalah kunci agar kamu bisa tahu lebih awal jika ada instance yang akan dihentikan. Dengan sistem monitoring yang baik, kamu bisa langsung melakukan relaunch sebelum downtime menjadi panjang. Banyak tools cloud yang sudah menyediakan notifikasi otomatis jika spot instance akan di-terminate.

Script Automation: Siap Deploy Ulang Instan

 Otomatisasi deployment dengan terraform, ansible, atau tools cloud lain sangat membantu. Dengan script yang sudah siap, kamu bisa langsung mendirikan ulang environment hanya dalam hitungan menit. Ini sangat penting untuk workload batch job, CI/CD pipeline, atau aplikasi stateless yang memang didesain untuk bisa “lahir-mati” kapan saja.

Simulasi Table Flip: Latihan Rutin

 Supaya tim kamu benar-benar siap, lakukan simulasi dengan sengaja mematikan spot instance setiap minggu. Anggap saja ini latihan “table flip” dadakan. Dengan latihan rutin, kamu bisa mengidentifikasi celah dan memastikan semua strategi fallback berjalan lancar saat kejadian nyata.

 Dengan strategi-strategi ini, kamu bisa tetap tenang dan hemat biaya, meskipun spot instance sewaktu-waktu menghilang dari cloud.

Adu Model: Harga, Fleksibilitas, dan Jagoan di Tiap Kategori Cloud

 Saat memilih layanan cloud, kamu pasti akan dihadapkan pada berbagai model harga dan fleksibilitas yang berbeda. Salah satu pertanyaan paling umum: mending pilih spot instance, on-demand, atau reserved instance? Jawabannya, tentu saja, sangat tergantung pada kebutuhan workload dan toleransi risiko kamu.

Spot instance (atau preemptible instance di GCP) adalah opsi yang sangat menarik dari sisi harga. Research shows, harga spot bisa lebih murah hingga 90% dibandingkan on-demand. Tapi, ada harga yang harus dibayar: spot instance bisa dihentikan kapan saja oleh provider jika kapasitas dibutuhkan untuk pelanggan lain. Jadi, kamu harus siap dengan risiko gangguan ini.

 Sebaliknya, on-demand instance menawarkan fleksibilitas penuh. Kamu bisa menambah atau mengurangi kapasitas kapan saja tanpa komitmen jangka panjang. Tapi, harga per jamnya jelas paling mahal. Model ini cocok untuk workload yang tidak bisa terganggu, seperti aplikasi produksi yang butuh uptime tinggi.

Reserved instance hadir sebagai jalan tengah. Dengan komitmen 1-3 tahun, kamu dapat harga lebih murah daripada on-demand, plus jaminan ketersediaan resource. Cocok untuk workload yang stabil dan bisa diprediksi. Namun, kamu harus siap dengan minimum commitment dan kadang ada biaya tersembunyi jika ingin mengubah atau membatalkan kontrak.

 Tiap provider cloud juga punya trik promo sendiri. Misalnya, AWS dan Azure menawarkan Savings Plan atau Committed Use Discount yang bisa memangkas biaya jika kamu berani berkomitmen. Google Cloud punya Sustained Use Discount yang otomatis aktif kalau kamu pakai VM dalam waktu lama. Jangan lupa, promo dan diskon volume ini bisa berubah-ubah, jadi selalu cek update harga terbaru sebelum deploy workload baru.

 Faktor lain yang sering luput adalah region dan instance size. Harga di region Singapura bisa beda jauh dengan Tokyo atau Jakarta. Instance kecil kadang lebih mahal per core dibandingkan instance besar. Jadi, pastikan kamu cek harga di region dan ukuran instance yang sesuai kebutuhan.

 Menariknya, provider seperti Oracle Cloud kadang jadi “kuda hitam” dengan harga yang sangat kompetitif, terutama untuk workload tertentu. Tapi, jangan asal tergiur murah—pastikan workload kamu memang cocok dengan ekosistem dan fitur yang ditawarkan.

 Terakhir, selalu baca fine print: durasi kontrak, minimum commitment, dan potensi hidden fees. Banyak pengguna cloud yang terjebak biaya tambahan gara-gara kurang teliti membaca syarat dan ketentuan.

Mitos & Fakta: Spot Instance Bukan Untuk Semua Orang

 Banyak orang langsung tergiur dengan janji penghematan biaya besar saat mendengar istilah spot instance di cloud. Memang, secara teori, kamu bisa memangkas biaya hingga 90% dibandingkan on-demand instance. Tapi, apakah benar spot instance selalu jadi pilihan terbaik? Mari kita kupas beberapa mitos dan fakta yang sering beredar.

Mitos: “Hemat pasti selalu bagus!”   Di permukaan, siapa sih yang nggak mau hemat? Namun, research shows bahwa untuk critical workload—misalnya aplikasi keuangan, sistem pembayaran, atau layanan yang harus selalu online—spot instance justru bisa sangat berisiko. Kenapa? Karena spot/preemptible instance sewaktu-waktu bisa dihentikan oleh provider cloud tanpa pemberitahuan panjang. Bayangkan, aplikasi penting tiba-tiba mati hanya karena instance-mu “diambil” oleh pengguna lain yang membayar lebih mahal.

Fakta: Tidak semua aplikasi cocok pakai spot instance.   Spot instance memang ideal untuk batch job, proses data besar, CI/CD pipeline, atau aplikasi stateless yang bisa dengan mudah dipindahkan atau diulang. Tapi, untuk aplikasi seperti transactional database atau layanan dengan SLA (Service Level Agreement) ketat, spot instance bukan pilihan bijak. Studi kasus dari tim fintech di Indonesia pernah menunjukkan kegagalan produksi besar-besaran setelah mereka memindahkan seluruh microservices ke spot instance tanpa strategi fallback. Akibatnya? Downtime massal dan kerugian reputasi.

Banyak yang gagal paham—anggap spot instance solusi utama cloud, padahal tidak universal.   Sering kali, orang menganggap spot instance sebagai “jalan pintas” untuk menghemat biaya cloud. Padahal, model ini hanya cocok jika kamu siap menerima risiko gangguan. Cloud provider seperti AWS, GCP, dan Biznet Gio memang menawarkan spot/preemptible instance, tapi mereka juga menekankan pentingnya strategi backup. Tanpa itu, kamu hanya berjudi dengan stabilitas aplikasi.

Spot instance hanya bermanfaat jika kamu siap dengan risiko dan strategi cadangan.   Kamu harus punya fallback strategy—misal, otomatis migrasi ke on-demand instance saat spot dihentikan. Tanpa ini, penghematan biaya bisa berubah jadi mimpi buruk.

Buat checklist kebutuhan sebelum “ngebut” hemat pakai spot.   Cek dulu: Apakah aplikasi kamu toleran terhadap gangguan? Sudah ada sistem monitoring dan auto-recovery? Kalau belum, lebih baik pertimbangkan model lain seperti reserved instance atau savings plan yang lebih stabil walau tak sehemat spot.

 Ingat, spot instance memang menawarkan diskon besar, tapi bukan berarti cocok untuk semua. Pahami dulu kebutuhan dan risiko sebelum memutuskan.

Penutup: Seni Menyeimbangkan Hemat dan Aman di Dunia Cloud

 Menentukan kapan harus menggunakan spot instance di cloud memang bukan perkara hitam-putih. Di satu sisi, kamu bisa menghemat biaya hingga 90% jika dibandingkan dengan on-demand instance, seperti yang sering ditawarkan AWS, Google Cloud, atau Biznet Gio. Namun, di sisi lain, ada risiko gangguan yang tidak bisa diabaikan. Spot instance bisa dihentikan kapan saja oleh provider jika kapasitas dibutuhkan untuk pelanggan lain. Inilah mengapa, seni menyeimbangkan antara hemat dan aman sangat penting dalam pengelolaan cloud modern.

 Kapan waktu yang tepat untuk memilih spot instance? Jawabannya: saat workload kamu memang bisa menerima downtime atau mudah di-recover. Misalnya, untuk batch job, proses CI/CD, atau aplikasi stateless yang tidak menyimpan data penting di memori lokal. Dengan begitu, kalaupun instance dihentikan tiba-tiba, kamu bisa dengan mudah memulai ulang proses tanpa kehilangan data atau progress signifikan. Research shows, workload yang fault-tolerant memang paling cocok untuk model spot/preemptible ini.

 Namun, jangan hanya tergiur harga murah. Utamakan automation dan strategi fallback agar operasional tetap aman. Banyak perusahaan sukses memanfaatkan spot instance dengan mengintegrasikan auto-scaling, load balancer, dan script otomatis untuk memindahkan workload ke instance lain saat terjadi gangguan. Dengan pendekatan ini, kamu tetap bisa hemat tanpa mengorbankan kelancaran bisnis. Seperti yang dikatakan salah satu praktisi cloud, “Spot instance itu seperti kursi kosong di pesawat—murah, tapi siap-siap pindah kalau ada penumpang tetap datang.”

 Jangan lupa, setiap provider cloud punya skema harga dan fitur berbeda. Bandingkan selalu sebelum memilih, karena “hemat” di satu provider belum tentu sama di tempat lain. Misalnya, Oracle Cloud Infrastructure seringkali menawarkan harga lebih rendah untuk tipe instance tertentu dibanding AWS atau GCP. Tapi, fitur dan performanya juga perlu kamu evaluasi. Pastikan juga kamu tidak hanya tergoda promo sesaat, tapi benar-benar paham kebutuhan workload dan karakteristik bisnis kamu.

 Terakhir, dunia cloud sangat dinamis. Harga, fitur, dan kebijakan bisa berubah dalam hitungan bulan. Selalu update informasi agar strategi penghematanmu tetap relevan. Dengan pendekatan yang cerdas, spot instance bisa menjadi penyelamat budget tanpa mengorbankan keamanan dan kelancaran operasional. Ingat, kunci utamanya bukan sekadar ikut-ikutan tren hemat, tapi bagaimana kamu mengelola cloud secara strategis agar bisnis tetap berjalan lancar, efisien, dan siap menghadapi perubahan.