
Mengapa Threat Hunting Penting? (Pengalaman & Perspektif Tidak Biasa)
Pernahkah kamu membayangkan, seberapa sering serangan siber bisa lolos dari radar sistem keamanan otomatis? Di balik layar dashboard yang penuh grafik dan notifikasi, ada satu fakta yang sering terlupakan: tidak semua ancaman bisa dideteksi mesin. Bahkan, teknologi secanggih apapun tetap membutuhkan sentuhan manusia—insting, rasa ingin tahu, dan naluri untuk menggali lebih dalam. Inilah alasan utama mengapa threat hunting menjadi sangat penting dalam dunia keamanan siber modern.
Serangan Tak Selalu Terdeteksi Otomatis—Kadang Butuh Insting Manusia
Banyak organisasi masih mengandalkan sistem deteksi otomatis, seperti antivirus, firewall, atau SIEM (Security Information and Event Management). Memang, alat-alat ini sangat membantu untuk menangkap ancaman yang sudah dikenal. Namun, research shows bahwa serangan siber kini semakin canggih dan seringkali mampu mengelabui sistem otomatis. Mereka menggunakan teknik baru, pola serangan yang tidak biasa, atau bahkan memanfaatkan celah yang belum diketahui.
Di sinilah peran threat hunter menjadi krusial. Dengan pendekatan proaktif, threat hunter tidak hanya menunggu alarm berbunyi. Mereka aktif mencari tanda-tanda aneh, pola yang tidak biasa, atau aktivitas mencurigakan yang mungkin luput dari deteksi otomatis. Kadang, hanya dengan rasa penasaran dan pengalaman, seorang threat hunter bisa menemukan jejak awal serangan sebelum semuanya terlambat.
“Teknologi canggih tanpa proaktif adalah seperti alarm tanpa penjaga.”
Kalimat ini sering terdengar di komunitas keamanan siber. Artinya, secanggih apapun alat yang kamu gunakan, jika tidak ada yang secara aktif mengawasi dan menindaklanjuti, maka potensi ancaman tetap tinggi. Threat hunting mengisi celah ini dengan pendekatan manusiawi yang tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh mesin.
Kisah Seorang Praktisi: Anomali di Tengah Shift Malam
Bayangkan suasana kantor yang sepi di tengah malam. Lampu-lampu sudah redup, hanya layar monitor yang masih menyala. Seorang analis keamanan, sebut saja Andi, sedang menjalani shift malamnya. Di tengah rasa kantuk, ia memperhatikan ada pola trafik jaringan yang sedikit berbeda dari biasanya. Tidak ada alarm yang berbunyi, tidak ada notifikasi dari SIEM. Hanya firasat dan pengalaman yang membuat Andi merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Alih-alih mengabaikan, Andi memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Ia menelusuri log, membandingkan pola trafik, dan akhirnya menemukan adanya komunikasi mencurigakan ke server luar negeri yang tidak pernah tercatat sebelumnya. Dari sinilah investigasi lebih lanjut dilakukan, dan ternyata, itu adalah upaya awal dari serangan ransomware yang sangat canggih. Berkat kejelian dan insting Andi, serangan berhasil dicegah sebelum menimbulkan kerugian besar.
Cerita seperti ini bukan sekadar anekdot. Banyak praktisi threat hunting yang membagikan pengalaman serupa, di mana human intuition dan kepekaan terhadap anomali menjadi kunci utama dalam mendeteksi serangan yang tidak terdeteksi otomatis. Studi juga menunjukkan bahwa pendekatan hypothesis-driven dan data-driven dalam threat hunting sering kali menghasilkan temuan yang tidak bisa didapatkan hanya dengan mengandalkan alat otomatis.
Teknologi Canggih Tanpa Proaktif = Alarm Tanpa Penjaga
Saat ini, banyak perusahaan berlomba-lomba mengadopsi teknologi keamanan terbaru: machine learning, artificial intelligence, hingga advanced analytics. Semua ini memang penting dan sangat membantu. Namun, tanpa adanya tim yang proaktif melakukan threat hunting, semua teknologi itu hanya seperti alarm yang berbunyi di ruangan kosong. Tidak ada yang benar-benar memastikan apakah alarm itu tanda bahaya nyata atau hanya false positive.
Threat hunting bukan sekadar soal mencari ancaman. Ini adalah proses berkelanjutan yang melibatkan continuous monitoring, kolaborasi tim, dan pemahaman mendalam tentang pola serangan terbaru. Seperti yang diungkapkan dalam banyak studi, peran manusia dalam threat hunting tetap tak tergantikan. Bahkan, tren keamanan siber 2025 menekankan pentingnya pendekatan proaktif agar organisasi bisa selalu selangkah di depan para penyerang.
Jadi, jika kamu ingin sistem keamanan yang benar-benar efektif, jangan hanya mengandalkan alat otomatis. Libatkan juga manusia—dengan rasa ingin tahu, pengalaman, dan insting yang tajam—untuk melakukan threat hunting secara proaktif. Karena pada akhirnya, ancaman siber bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal manusia yang ada di baliknya.
Teknik Dasar dalam Threat Hunting: Dari Structured hingga Hypothesis-Driven
Ketika kamu mulai terjun ke dunia threat hunting, ada beberapa teknik dasar yang wajib kamu pahami. Teknik-teknik ini menjadi fondasi dalam mendeteksi serangan siber sebelum benar-benar terjadi atau berkembang menjadi insiden besar. Setiap pendekatan punya kelebihan dan tantangannya sendiri, dan sering kali, kombinasi beberapa teknik justru menghasilkan deteksi yang lebih efektif. Mari kita bahas tiga pendekatan utama: structured hunting, hypothesis-driven, dan unstructured hunting.
Structured Hunting: Berburu Berdasarkan Pola dan Skenario
Structured hunting adalah teknik berburu ancaman yang sangat sistematis. Kamu akan bekerja berdasarkan pola, skenario, atau playbook yang sudah terdefinisi. Biasanya, pendekatan ini menggunakan indikator kompromi (IOC) atau indikator serangan (IoA) yang sudah diketahui. Misalnya, kamu mencari aktivitas login mencurigakan pada jam-jam tidak biasa, atau pola komunikasi jaringan yang mirip dengan serangan yang pernah terjadi sebelumnya.
Penelitian menunjukkan bahwa structured hunting sangat efektif untuk mendeteksi ancaman yang sudah pernah terjadi atau dikenal luas. Dengan mengikuti pola yang sudah ada, kamu bisa lebih cepat mengidentifikasi aktivitas abnormal. Namun, teknik ini punya keterbatasan—khususnya jika penyerang menggunakan metode baru yang belum pernah didokumentasikan.
Structured hunting sering didukung oleh framework seperti MITRE ATT&CK, yang memetakan taktik dan teknik penyerang secara detail. Dengan framework ini, kamu bisa membuat checklist atau skenario berburu yang jelas, sehingga proses investigasi lebih terarah. Banyak organisasi besar mengandalkan structured hunting sebagai langkah awal sebelum beralih ke teknik yang lebih eksploratif.
Hypothesis-Driven: Berpikir Seperti Penyerang
Pendekatan kedua adalah hypothesis-driven hunting. Di sini, kamu tidak hanya mencari pola yang sudah ada, tapi juga membangun hipotesis—asumsi tentang bagaimana penyerang bisa masuk dan bergerak di dalam sistem. Misalnya, kamu berasumsi bahwa penyerang akan mencoba menanam backdoor setelah mendapatkan akses awal, lalu kamu mencari bukti-bukti yang mendukung atau membantah asumsi tersebut.
Menurut riset, pendekatan ini sangat penting untuk mendeteksi serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan berpikir seperti penyerang, kamu bisa menemukan celah yang tidak terlihat oleh teknik berbasis pola. Proses ini memang lebih menantang dan membutuhkan pemahaman mendalam tentang sistem, aplikasi, serta taktik penyerang.
Biasanya, hypothesis-driven hunting melibatkan analisis data secara mendalam, penggunaan threat intelligence, dan kadang-kadang bantuan machine learning untuk mengidentifikasi anomali. Studi terbaru menyebutkan, “Threat hunting yang berbasis hipotesis memungkinkan tim keamanan untuk mendeteksi serangan yang sangat canggih dan belum pernah teridentifikasi sebelumnya.” Pendekatan ini juga mendorong kolaborasi antar anggota tim, karena setiap hipotesis bisa diuji dan dikembangkan bersama.
Unstructured Hunting: Berburu Tanpa Peta, Menemukan yang Tak Terduga
Ada kalanya, kamu perlu keluar dari pola dan asumsi yang sudah ada. Inilah yang disebut unstructured hunting. Teknik ini lebih bebas—kamu tidak terikat pada skenario atau hipotesis tertentu. Sering kali, unstructured hunting dilakukan saat ada firasat atau kecurigaan, tapi belum ada bukti atau pola yang jelas.
Uniknya, pendekatan ini justru sering menghasilkan temuan yang tidak terduga. Kamu bisa menemukan aktivitas mencurigakan yang sama sekali baru, atau pola serangan yang belum pernah terdokumentasi. Banyak peneliti keamanan menyebut unstructured hunting sebagai “berburu tanpa peta”—kamu mengandalkan intuisi, pengalaman, dan kepekaan terhadap anomali sekecil apa pun.
Meski terdengar acak, unstructured hunting tetap membutuhkan keterampilan analisis data dan pemahaman mendalam tentang lingkungan IT. Tools modern seperti SIEM (Security Information and Event Management) dan platform analitik sangat membantu dalam proses ini. Penelitian juga menunjukkan, “Pendekatan unstructured sering kali menjadi kunci dalam mendeteksi serangan zero-day atau teknik baru yang belum pernah diidentifikasi.”
Memilih Teknik yang Tepat
Setiap teknik threat hunting punya peran penting. Structured hunting cocok untuk deteksi cepat berdasarkan pola yang sudah ada. Hypothesis-driven hunting membantu kamu berpikir lebih strategis dan adaptif. Sementara unstructured hunting membuka peluang menemukan ancaman yang benar-benar baru. Dalam praktiknya, kombinasi ketiganya sering kali menjadi strategi terbaik untuk memperkuat pertahanan siber organisasi.
Tools, Tren, dan Cara Jitu: Memperkuat Pertahanan Siber di Era 2025
Memasuki era 2025, dunia siber semakin dinamis dan penuh tantangan. Serangan siber tidak lagi sekadar ancaman yang datang tiba-tiba, tapi sudah menjadi bagian dari lanskap digital yang harus diantisipasi setiap saat. Di tengah derasnya perkembangan teknologi, kamu mungkin bertanya: “Apakah tools canggih saja cukup untuk melindungi organisasi dari serangan siber?” Jawabannya, tidak sesederhana itu.
Tools memang penting. Platform EDR (Endpoint Detection and Response), SIEM (Security Information and Event Management), hingga solusi berbasis AI kini semakin mudah diakses. Namun, penelitian dan pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa kolaborasi dan threat intelligence adalah dua faktor yang tidak boleh diabaikan. Tools canggih hanya akan efektif jika didukung oleh tim yang solid dan informasi ancaman yang selalu diperbarui.
Menurut beberapa studi, threat intelligence berperan sebagai “mata dan telinga” bagi tim keamanan. Dengan informasi yang tepat, kamu bisa mendeteksi pola serangan lebih awal, bahkan sebelum serangan benar-benar terjadi. “Threat hunting bukan lagi opsi tambahan, tapi sudah menjadi kebutuhan utama,” demikian salah satu temuan yang sering diangkat dalam diskusi profesional keamanan siber.
Tren ke depan memperlihatkan bahwa threat hunting akan menjadi aktivitas inti, bukan sekadar pelengkap. Cara kerja tim keamanan pun berubah. Jika dulu mereka hanya menunggu alarm berbunyi, kini mereka proaktif “berburu” ancaman di jaringan. Pendekatan ini dikenal sebagai proactive threat hunting, di mana tim keamanan secara aktif mencari tanda-tanda serangan, baik dengan pendekatan terstruktur, tidak terstruktur, berbasis situasi, maupun hipotesis.
Teknik dasar threat hunting sendiri kini semakin berkembang. Selain menggunakan indicators of compromise (IOCs) dan indicators of attack (IoAs), banyak tim yang mengandalkan machine learning untuk mendeteksi anomali. Tools modern menyediakan fitur analitik canggih, namun tetap membutuhkan sentuhan manusia untuk menginterpretasi data dan mengambil keputusan. Di sinilah peran kolaborasi menjadi sangat penting. Tim yang mampu bekerja sama dengan baik, berbagi pengetahuan, dan saling melengkapi keahlian akan jauh lebih siap menghadapi serangan yang semakin kompleks.
Satu hal yang tak kalah penting adalah simulasi penyerang atau adversary simulation. Latihan ini bukan sekadar formalitas, tapi menjadi cara terbaik untuk menguji kesiapan tim menghadapi serangan nyata. Dengan melakukan simulasi, kamu bisa melihat secara langsung bagaimana tim merespons serangan, mengidentifikasi celah pertahanan, dan memperbaiki proses yang kurang efektif. Banyak organisasi besar kini rutin melakukan red teaming dan blue teaming untuk memastikan pertahanan mereka benar-benar siap.
Framework seperti MITRE ATT&CK juga semakin sering digunakan untuk memahami taktik dan teknik yang digunakan penyerang. Dengan referensi ini, kamu bisa membangun strategi pertahanan yang lebih terarah dan berbasis data nyata dari insiden yang pernah terjadi. Studi terbaru menekankan bahwa “kunci keberhasilan threat hunting terletak pada kombinasi antara teknologi, proses, dan manusia.” Tanpa salah satu dari ketiganya, pertahanan siber akan mudah ditembus.
Pada akhirnya, memperkuat pertahanan siber di era 2025 bukan hanya soal mengadopsi tools terbaru. Kamu perlu membangun budaya kolaborasi, memperkuat threat intelligence, dan rutin melakukan simulasi penyerang. Jangan lupa, ancaman siber akan terus berkembang. Cara terbaik untuk bertahan adalah dengan selalu belajar, beradaptasi, dan tidak pernah merasa cukup aman.
Jadi, apakah kamu sudah siap menghadapi tantangan siber di masa depan? Ingat, “keamanan bukan tujuan akhir, tapi proses yang harus dijalani setiap hari.” Dengan strategi yang tepat, tim yang solid, dan pemanfaatan teknologi secara bijak, kamu bisa menjadi selangkah lebih maju dari para penyerang. Selamat berburu ancaman, dan jangan pernah lengah!