Refactoring vs Rewriting: Dilema Besar Developer Saat Warisan Kode Buruk

Refactoring: Solusi Bertahap untuk Kode Berantakan

 Ketika kamu menghadapi kode warisan yang sudah bertahun-tahun tidak disentuh, refactoring sering jadi pilihan pertama yang terlintas di benak. Tapi, apa sebenarnya refactoring itu? Secara sederhana, refactoring adalah proses memperbaiki struktur internal kode tanpa mengubah perilaku eksternalnya. Tujuannya? Agar kode lebih mudah dipahami, dirawat, dan dikembangkan ke depannya. Manfaat jangka panjangnya sangat terasa, terutama jika kamu ingin tim tetap produktif dan tidak terjebak dalam “neraka kode” setiap kali ada permintaan perubahan kecil.

 Bayangkan kamu mewarisi modul laporan bulanan yang sudah lama tidak disentuh. Awalnya, setiap perubahan kecil selalu membuat developer was-was—takut merusak bagian lain yang tidak sengaja tersentuh. Setelah dilakukan refactoring secara bertahap, kode laporan itu akhirnya bisa di-maintain lagi tanpa drama. Prosesnya memang tidak instan, tapi hasilnya jelas: bug lebih mudah dilacak, fitur baru lebih gampang ditambahkan, dan tim tidak lagi mengeluh setiap kali ada revisi.

 Namun, refactoring bukan tanpa risiko. Seringkali, perubahan kecil yang tampaknya sepele justru memunculkan bug tak terduga. Kenapa bisa begitu? Karena kode lama biasanya penuh dengan dependensi tersembunyi. Satu baris yang diubah bisa berdampak ke bagian lain yang tidak terduga. Research shows, “Refactoring minimizes risk by preserving existing functionality, but hidden dependencies in legacy code can still trigger unexpected issues.” Jadi, penting banget untuk punya test coverage yang memadai sebelum mulai refactor.

 Lalu, kapan refactoring menjadi strategi paling masuk akal? Biasanya, ketika kamu masih butuh mempertahankan sebagian besar fitur lama, dan tidak punya waktu atau sumber daya untuk menulis ulang semuanya. Refactoring juga cocok jika kamu ingin memperbaiki kode secara bertahap, tanpa mengganggu operasional bisnis yang sedang berjalan. Studi menunjukkan, “Refactoring is incremental and cost-effective, while rewriting is more drastic and time-consuming.”

 Saya pernah mendengar cerita dari seorang teman yang harus refactor project ERP di perusahaan manufaktur. Awalnya, setiap perubahan kecil selalu menimbulkan masalah baru. Tapi setelah refactoring dilakukan secara konsisten, timnya jadi lebih percaya diri untuk menambah fitur baru dan memperbaiki bug lama. Prosesnya memang makan waktu, tapi hasilnya sangat terasa di jangka panjang.

 Refactoring juga sangat relevan dalam proses continuous development. Dengan refactoring yang terintegrasi dalam siklus pengembangan, kamu bisa menjaga kualitas kode tetap terjaga seiring bertambahnya fitur dan perubahan kebutuhan bisnis. Ini adalah investasi kecil yang dampaknya bisa sangat besar untuk masa depan aplikasi.

Rewrite: Kadang Harus Mulai dari Nol

 Ketika kamu menghadapi kode warisan yang membingungkan, ada satu pilihan ekstrem yang sering muncul di benak developer: rewrite. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan rewriting? Secara sederhana, rewriting adalah proses membangun ulang aplikasi atau sistem dari nol, tanpa mengandalkan kode lama sama sekali. Bayangkan seperti memulai hubungan baru—semua terasa fresh, tapi juga penuh ketidakpastian. Banyak developer mengibaratkan rewriting sebagai kesempatan untuk benar-benar move on dari masa lalu yang penuh “toxic code”.

 Ada beberapa kelebihan utama dari melakukan rewrite. Pertama, kamu bisa memilih teknologi terbaru yang lebih relevan dengan kebutuhan saat ini. Misalnya, mengganti framework lawas dengan stack modern yang lebih scalable. Kedua, arsitektur aplikasi bisa didesain ulang agar lebih modular dan mudah dikembangkan ke depannya. Ketiga, rewrite memberikan clean slate—tidak ada lagi beban technical debt atau keputusan buruk yang pernah diambil di masa lalu. Seperti yang disebutkan dalam beberapa studi, rewriting membuka peluang inovasi yang lebih luas dan memungkinkan dokumentasi yang lebih rapi sejak awal.

 Namun, rewrite juga penuh risiko. Proses ini biasanya memakan waktu jauh lebih lama dibandingkan refactoring. Kamu harus mengelola dua codebase sekaligus: yang lama tetap harus berjalan, sementara yang baru sedang dibangun. Ini bisa menimbulkan “drama” di tim pengembang, terutama jika ada perbedaan visi atau tekanan deadline. Studi menunjukkan, rewriting seringkali membawa risiko kegagalan lebih besar karena perubahan total pada struktur dan fungsi aplikasi. Belum lagi, biaya yang dikeluarkan untuk rewrite bisa membengkak karena harus memelihara dua sistem secara bersamaan.

 Lalu, kapan sebenarnya rewrite benar-benar dibutuhkan? Jawabannya bukan sekadar karena bos atau CTO bosan dengan stack lama. Rewrite biasanya dibenarkan jika kode lama sudah benar-benar tidak bisa dipertahankan—misalnya, arsitektur sudah terlalu usang, banyak bug kritis yang sulit diperbaiki, atau teknologi lama sudah tidak didukung lagi. Research shows, keputusan rewrite harus didasarkan pada analisis mendalam, bukan sekadar keinginan untuk “ikut tren”.

 Ada banyak kisah nyata yang bisa jadi pelajaran. Salah satunya, sebuah tim pengembang aplikasi CRM memutuskan rewrite total dengan harapan bisa lebih cepat dan efisien. Namun, kenyataannya, proses launching justru molor berbulan-bulan karena banyak fitur yang harus dibangun ulang dari nol. Ini membuktikan bahwa rewrite bukan solusi instan—perlu perencanaan matang dan komitmen penuh dari seluruh tim.

 Meski begitu, rewriting tetap menawarkan peluang untuk orientasi masa depan. Dengan memulai dari nol, kamu bisa memastikan dokumentasi lebih rapi, arsitektur lebih siap menghadapi tantangan baru, dan tim punya kesempatan belajar teknologi terbaru tanpa beban masa lalu.

Code Smells: Tanda-tanda Kode Perlu Diutak-atik atau Dirombak

 Di dunia pengembangan perangkat lunak, istilah code smells sering muncul, tapi maknanya jauh lebih dalam dari sekadar istilah teknis. Code smells adalah tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang “bau” atau tidak beres di dalam kode, meskipun belum tentu ada bug nyata. Kadang, kamu bisa merasakannya seperti insting: ada bagian kode yang bikin kamu gelisah setiap kali harus menyentuhnya. Ini bukan cuma soal teori, tapi pengalaman nyata yang sering dialami para developer.

 Beberapa contoh code smells yang mudah dikenali di kehidupan sehari-hari pengembang antara lain:

  • Fungsi atau method yang panjangnya sampai 300 baris. Setiap kali kamu scroll, kamu lupa sudah di bagian mana.
  • Variabel dengan nama generik seperti data1, temp, atau foo. Sulit menebak apa maksudnya tanpa membaca seluruh konteks.
  • API yang setiap kali diubah, server harus direstart supaya perubahan terasa. Ini sering jadi tanda ada masalah arsitektur atau dependensi yang tidak sehat.

 Mengapa mengenali code smells penting sebelum kamu memutuskan untuk refactor atau rewrite? Research shows, mengenali code smells lebih awal bisa menghemat waktu dan biaya. Tidak semua code smells harus langsung dirombak total; kadang cukup dengan refactor sederhana, struktur kode bisa jauh lebih sehat dan mudah dipelihara. Misalnya, ada kisah nyata dari aplikasi kasir yang sering error di bagian transaksi. Setelah diselidiki, ternyata hanya butuh satu baris refactor untuk memperbaiki bug misterius itu—bukan rewrite seluruh modul. Ini membuktikan, keputusan besar seperti rewrite sebaiknya diambil dengan pertimbangan matang, bukan sekadar reaksi terhadap code smells.

 Untuk mendeteksi code smells, kamu tidak harus mengandalkan insting saja. Ada banyak tools yang bisa membantu, seperti SonarQube untuk Java, PHPMD untuk PHP, atau ESLint untuk JavaScript. Tools ini bisa menandai potensi masalah seperti duplikasi kode, fungsi terlalu panjang, atau dependensi yang tidak jelas. Dengan bantuan tools, kamu bisa lebih objektif dalam menilai apakah kode butuh refactor ringan atau sudah masuk kategori “wajib rewrite”.

 Batas antara code smells ringan dan berat memang tidak selalu jelas. Code smells ringan biasanya bisa diatasi dengan refactor: memecah fungsi, mengganti nama variabel, atau merapikan struktur. Namun, jika code smells sudah menyebar ke seluruh sistem, membuat perubahan kecil jadi mustahil tanpa merusak bagian lain, di situlah rewrite mulai jadi opsi yang layak dipertimbangkan.

Legacy System: Ketika Kode Warisan Menjadi Labirin

 Jika kamu sudah lama berkecimpung di dunia pengembangan perangkat lunak, istilah legacy system pasti sering mampir di telinga. Tapi, di balik istilah keren itu, realitanya jauh dari glamor. Legacy system bukan sekadar kode lama—ia adalah warisan yang sering kali bikin pusing generasi developer berikutnya. Bayangkan kamu harus mengurusi aplikasi yang dibangun belasan tahun lalu, dengan teknologi yang bahkan sudah jarang diajarkan di bootcamp masa kini.

 Apa yang membuat legacy system begitu menantang? Salah satu masalah utamanya adalah dokumentasi yang minim, bahkan kadang nyaris tidak ada. Kamu mungkin menemukan satu-dua file README yang sudah tidak relevan, atau komentar kode yang lebih membingungkan daripada membantu. Belum lagi konfigurasi aneh yang hanya dimengerti oleh developer lama—yang, sayangnya, sudah lama resign. Alhasil, setiap perubahan kecil bisa seperti menavigasi labirin tanpa peta.

 Dalam kondisi seperti ini, kamu dihadapkan pada dua pilihan besar: refactor atau rewrite. Refactor adalah strategi bertahap, di mana kamu memperbaiki struktur internal kode tanpa mengubah perilaku eksternalnya. Research shows, refactoring meningkatkan maintainability, readability, dan performa tanpa risiko besar pada fungsionalitas inti. Ini cocok jika codebase masih bisa diselamatkan, dan kamu ingin meminimalkan risiko sambil tetap menjaga laju pengembangan.

 Tapi, ada kalanya legacy system sudah seperti ‘monster’ yang tak terkendali. Kode terlalu kusut, dependensi saling bertumpuk, dan setiap bug fix justru memunculkan masalah baru. Di sinilah rewrite menjadi keputusan darurat. Rewriting berarti membangun ulang aplikasi dari nol, dengan teknologi dan arsitektur yang lebih modern. Meski menawarkan peluang inovasi dan future-proofing, rewrite juga membawa risiko besar: waktu pengerjaan lebih lama, biaya membengkak, dan kamu harus memelihara dua codebase sekaligus untuk sementara waktu. Seperti yang dikatakan dalam salah satu studi, “Rewrite is a fresh start, but it comes with the price of time and risk.”

 Ada kisah nyata yang mungkin relate: sebuah aplikasi HRD warisan tahun 2007, dibangun dengan teknologi antik yang sudah tidak didukung vendor. Tim baru akhirnya memilih strategi hybrid—menggabungkan refactor di bagian yang masih bisa diselamatkan, dan partial rewrite untuk modul-modul yang sudah benar-benar usang. Pendekatan ini memang tidak sempurna, tapi kadang jadi satu-satunya jalan tengah yang masuk akal.

 Tentu saja, semua keputusan ini tidak lepas dari pertimbangan manajemen proyek. Time to market, ROI, dan deadline yang kadang tidak manusiawi sering kali jadi faktor penentu. Tidak ada solusi universal—setiap legacy system adalah labirin unik yang menuntut strategi berbeda.

Manajemen Proyek: Mengelola Ekspektasi & Risiko di Tengah Ketidakpastian

 Ketika kamu dihadapkan pada kode warisan yang membingungkan, keputusan antara refactor atau rewrite bukan sekadar soal teknis. Ini adalah dilema besar yang sering kali membuat tim manajemen proyek harus menimbang banyak faktor di tengah tekanan bisnis yang nyata. Tidak jarang, diskusi internal terasa seperti adu argumen antara efisiensi jangka pendek dan investasi masa depan. 

 Bagaimana sebenarnya tim manajemen menentukan jalan yang harus diambil? Biasanya, proses ini melibatkan analisis mendalam: seberapa parah kondisi kode saat ini, seberapa besar risiko jika dibiarkan, dan apakah ada cukup waktu serta sumber daya untuk melakukan perubahan signifikan. Refactoring sering dipilih jika masalah utama adalah struktur internal kode yang buruk, namun fungsionalitasnya masih bisa dipertahankan. Sementara itu, rewriting menjadi opsi ketika kode lama sudah benar-benar tidak bisa diandalkan lagi, atau ketika kebutuhan bisnis telah berubah drastis.

 Komunikasi antara developer dan pemangku kepentingan nonteknis juga memegang peran penting. Judul meeting kadang terdengar lucu—misal, “Operasi Bedah Kode Besar-Besaran”—tapi hasil keputusannya bisa sangat dramatis bagi masa depan perusahaan. Developer sering harus menjelaskan risiko teknis dengan bahasa yang mudah dimengerti, sementara manajemen ingin tahu: “Berapa lama? Berapa biaya? Apa dampaknya ke bisnis?” 

 Jika diibaratkan, memilih refactor itu seperti bertaruh di babak tambahan sebuah pertandingan: kamu masih punya peluang menang, tapi harus hati-hati agar tidak kebobolan. Sedangkan rewrite seperti memulai pertandingan baru dari awal—semua serba segar, tapi risiko dan tantangannya juga lebih besar. Studi menunjukkan, refactoring cenderung lebih minim risiko karena mempertahankan fungsionalitas yang sudah ada, sedangkan rewriting membuka peluang inovasi namun membutuhkan waktu dan biaya lebih banyak.

 Cost considerations selalu menjadi pertimbangan utama. Refactor biasanya lebih hemat waktu dan sumber daya, serta minim gangguan pada operasi bisnis berjalan. Namun, rewrite bisa memberi peluang untuk mengadopsi teknologi baru dan memperbaiki arsitektur dari nol. Studi kasus startup fintech yang harus rewrite core engine di tengah pencarian investor menggambarkan betapa beratnya keputusan ini. Mereka harus menjalani periode transisi, memelihara dua sistem paralel, dan menghadapi potensi burnout tim akibat beban kerja ganda.

 Pada akhirnya, tidak ada jawaban pasti. Setiap pilihan membawa konsekuensi: dari transisi yang melelahkan, kebutuhan maintain dua codebase, hingga risiko tim kelelahan. Namun, dengan komunikasi yang terbuka dan analisis risiko yang matang, tim manajemen bisa lebih siap menghadapi ketidakpastian di depan.

Setitik Kedewasaan: Belajar dari Keputusan Salah dan Ludah Sendiri

 Ketika kamu berhadapan dengan kode warisan yang membingungkan, sering kali muncul dilema: refactor atau rewrite? Pilihan ini tidak pernah mudah, dan kadang keputusan yang diambil justru menjadi pelajaran berharga—bahkan, terkadang pahit. Pengalaman nyata di banyak tim pengembang membuktikan, refactor yang gagal sering kali berujung pada rewrite penuh. Sebaliknya, rewrite yang terlalu ambisius bisa berubah jadi refactor diam-diam karena keterbatasan waktu atau sumber daya.

 Bayangkan kamu dan tim sudah menghabiskan minggu-minggu untuk refactor modul lama. Semua orang optimis, yakin ini solusi paling efisien. Namun, di tengah jalan, muncul bug baru yang tak kunjung selesai. Akhirnya, keputusan diambil: “Kita rewrite saja dari nol.” Prosesnya panjang, melelahkan, dan kadang menimbulkan friksi internal. Di sisi lain, ada pula cerita rewrite besar-besaran yang akhirnya hanya bisa selesai dengan refactor bertahap karena tekanan deadline. Realitanya, tidak ada rumus pasti yang selalu berhasil.

 Tekanan internal tim saat strategi gagal juga menjadi ujian kedewasaan. Budaya saling menyalahkan mudah muncul, apalagi jika hasil kerja keras tidak membuahkan hasil. Namun, tim yang sudah matang biasanya memilih budaya belajar. Mereka tidak mencari kambing hitam, tapi justru membedah apa yang salah dan bagaimana memperbaikinya ke depan. Seperti yang sering diingatkan dalam dunia pengembangan perangkat lunak, “Failure is simply the opportunity to begin again, this time more intelligently.”

 Ada juga anekdot menarik dari tim kecil yang memilih jalur tengah: mereka tidak langsung refactor total atau rewrite penuh. Mereka menggabungkan keduanya secara bertahap—memulai dengan smart refactor di bagian-bagian kritis, lalu rewrite sebagian modul yang benar-benar tidak bisa diselamatkan. Hasilnya? Progres lebih stabil, risiko lebih terkontrol, dan tim tetap solid. Studi menunjukkan, pendekatan hybrid seperti ini sering kali lebih realistis dan efektif dalam proyek besar.

 Mengapa tidak ada keputusan pasti dalam menghadapi kode warisan? Karena setiap kasus punya tantangan unik. Kadang refactor dulu, baru rewrite sebagian. Kadang sebaliknya. Inilah pentingnya retrospektif tim dan dokumentasi. Dengan merekam setiap keputusan dan hasilnya, tim bisa belajar dari kesalahan dan mencegah pengulangan. Dokumentasi yang baik juga membantu anggota baru memahami konteks, sehingga tidak terjebak dalam siklus kesalahan yang sama.

 Pada akhirnya, kedewasaan tim diuji saat harus mengakui strategi yang diambil ternyata salah. Titik balik ini penting: kapan harus berhenti ngotot, mengakui kekeliruan, dan move on demi produktivitas. Kadang, keputusan terbaik adalah mengakui bahwa tidak semua rencana berjalan mulus—dan itu tidak apa-apa, selama kamu dan tim terus belajar.

Wild Card: Jika Kodeku Hewan, Mau Dipelihara atau Dibedah?

 Bayangkan kode warisan yang kamu hadapi itu seperti seekor hewan peliharaan. Kadang jinak, kadang liar, dan tidak jarang tiba-tiba menggigit tanpa peringatan. Ada hari-hari di mana kode itu tampak bisa diajak kompromi—cukup kamu sisir, potong kukunya, dan beri makan, semuanya berjalan lancar. Tapi di lain waktu, ia berubah jadi makhluk yang sulit dikendalikan, penuh kejutan, dan membuatmu bertanya-tanya: “Apakah sudah waktunya kode ini disuntik mati dan diganti yang baru?”

 Pertanyaan besar yang sering muncul di benak developer adalah: kapan kode lama cukup ‘dipelihara’ lewat refactoring, dan kapan harus diambil langkah ekstrem, yaitu rewrite total? Menurut penelitian, refactoring adalah proses memperbaiki struktur internal kode tanpa mengubah perilaku eksternalnya. Cara ini cenderung lebih aman, minim risiko, dan bisa dilakukan secara bertahap. Cocok untuk kode yang masih punya ‘potensi hidup’, walau kadang butuh perawatan ekstra. Sementara itu, rewriting berarti membangun ulang kode dari nol. Pilihan ini memang membuka peluang inovasi, tapi juga penuh tantangan: butuh waktu lama, biaya besar, dan risiko kehilangan fungsionalitas lama yang sudah berjalan.

 Coba bayangkan, jika kode lama bisa bicara, mungkin ia akan berbisik lirih, “Tolong, perbaiki aku!” atau bahkan berteriak, “Sudahi penderitaanku, buat aku yang baru!” Tidak semua kode layak dipertahankan. Ada yang sudah terlalu tua, penuh tambalan, dan sulit dipahami. Dalam kasus seperti ini, rewrite bisa jadi jalan keluar terbaik, meski konsekuensinya tidak kecil.

 Opini pribadi, banyak kode warisan itu mirip dinosaurus: besar, kompleks, dan sudah tidak relevan dengan zaman sekarang. Mereka butuh evolusi, bukan sekadar perawatan. Namun, untuk kode yang kecil dan masih bisa diatur, cukup lakukan grooming rutin—refactoring kecil-kecilan agar tetap sehat dan mudah dipelihara.

 Satu tips sederhana yang sering dilupakan: jangan jatuh cinta pada kode lama. Cintailah proses perbaikan dan pembelajaran yang datang dari setiap iterasi. Studi menunjukkan, refactoring yang konsisten membuat kode lebih mudah dirawat dan dikembangkan. Sementara rewrite, meski berat, bisa menjadi investasi jangka panjang jika dilakukan pada waktu yang tepat.

 Pada akhirnya, keputusan antara memelihara atau membedah kode warisan adalah soal keseimbangan antara risiko, biaya, dan visi masa depan. Tidak ada jawaban mutlak, tapi satu hal pasti: kode, seperti hewan peliharaan, butuh perhatian dan keputusan bijak dari pemiliknya.