
‘False Positive’ & Ransomware: Titik Awal Penting untuk Paham Threat Hunting
Jika kamu baru terjun sebagai sysadmin atau SOC engineer, pasti sudah sering dengar istilah SIEM alert dan false positive. Banyak yang menganggap alert “palsu” ini cuma gangguan, padahal di balik notifikasi yang tampak sepele, bisa tersembunyi ancaman nyata. Ada cerita nyata yang sering jadi pelajaran di dunia keamanan siber: sebuah tim IT mengabaikan alert dari SIEM karena dianggap false positive. Beberapa hari kemudian, data penting perusahaan hilang, dan server utama terkunci ransomware. Penyesalan selalu datang belakangan—dan ini bukan sekadar cerita horor, tapi kenyataan yang sering terjadi.
Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Salah satu penyebab utamanya adalah rasa bosan atau terlalu percaya diri saat melakukan monitoring. Bagi SOC engineer pemula, rutinitas memantau ratusan hingga ribuan alert setiap hari bisa membuatmu cepat jenuh. Lama-lama, kamu jadi cenderung mengabaikan alert yang muncul berulang atau terlihat “tidak penting”. Di sinilah jebakan sebenarnya. False positive memang sering terjadi, tapi bukan berarti boleh diabaikan begitu saja. Kadang, serangan canggih justru berawal dari anomali kecil yang dianggap tidak berbahaya.
Penelitian menunjukkan, 76% serangan canggih berawal dari anomali yang diabaikan. Ini bukan angka kecil. Banyak kasus ransomware dan data breach bermula dari aktivitas yang “tidak biasa” tapi lolos dari perhatian karena dianggap noise atau error sistem. Attacker tahu betul bahwa manusia mudah lelah dan bosan—mereka memanfaatkan celah ini dengan menyamarkan aktivitas mereka agar terlihat seperti false positive.
Di sinilah pentingnya seni menjadi penasaran sehat. Jangan pernah berhenti bertanya: “Kenapa alert ini muncul? Apakah benar-benar tidak penting, atau ada sesuatu yang belum saya pahami?” Kadang, satu pertanyaan sederhana bisa membuka tabir serangan yang lebih besar. Threat hunting bukan sekadar soal teknologi, tapi juga soal pola pikir dan kebiasaan bertanya sebelum sistem “berteriak” keras karena sudah terlambat.
“Saat akhirnya server utama terkunci, baru sadar pentingnya hunting proaktif.”
Jangan tunggu sistem bicara keras. Jadikan setiap alert, bahkan yang tampak remeh, sebagai peluang untuk belajar dan melatih insting detektif digital kamu. Threat hunting adalah proses aktif—bukan hanya menunggu, tapi mencari dan memahami setiap anomali yang muncul.
Bongkar Sisi Tidak Umum: Threat Hunting di Balik Layar (Sudut Pandang Sysadmin)
Ketika bicara soal threat hunting, banyak yang langsung membayangkan tim SOC dengan dashboard canggih dan tool mahal. Padahal, sebagai sysadmin, kamu punya modal awal yang sangat unik: pemahaman mendalam tentang traffic jaringan dan perilaku sistem di lingkunganmu sendiri. Pengetahuan ini sering jadi kunci utama dalam mendeteksi ancaman tersembunyi yang tidak selalu terdeteksi oleh alat otomatis.
Setiap hari, kamu melihat pola akses user, aktivitas server, dan perubahan kecil yang mungkin dianggap sepele oleh orang lain. Namun, justru di situlah sering kali ancaman bersembunyi. Misalnya, pola akses ilegal bisa saja terselip di antara rutinitas harian user. Seorang penyerang yang cerdas akan berusaha meniru aktivitas normal agar tidak mudah terdeteksi. Inilah mengapa threat hunting bukan sekadar soal teknologi, tapi juga soal seni membaca pola dan log.
Research shows, threat hunting efektif tidak selalu membutuhkan alat mahal. Justru, kemampuan membaca log, menganalisis traffic, dan memahami baseline aktivitas sistem adalah senjata utama. Contohnya, ada sysadmin yang menemukan script mining tersembunyi hanya dengan memperhatikan kenaikan penggunaan CPU yang tidak wajar pada jam-jam tertentu. Setelah ditelusuri, ternyata ada proses mencurigakan yang berjalan di background, dan ini tidak terdeteksi oleh antivirus standar. Kasus seperti ini membuktikan bahwa insting dan kepekaan seorang sysadmin sangat berharga.
Tapi, threat hunting juga punya sisi lucu dan kadang bikin deg-degan. Pernahkah kamu menandai aktivitas aneh, lalu setelah investigasi panjang, ternyata itu hanya script otomatis buatan teman sendiri? Salah paham seperti ini sering terjadi, apalagi jika komunikasi antar tim kurang lancar. Namun, pengalaman seperti ini justru memperkaya instingmu dalam membedakan mana aktivitas yang benar-benar berbahaya dan mana yang hanya “false alarm”.
Dalam dunia nyata, kamu juga harus pintar memilih prioritas. Tidak semua anomali harus langsung diinvestigasi. Ada baiknya kamu membuat daftar prioritas: mana yang urgent (misal, akses dari IP luar negeri yang tidak dikenal atau perubahan permission mendadak), dan mana yang bisa ditunda (seperti spike traffic kecil yang sudah pernah terjadi sebelumnya). Dengan begitu, waktu dan energi kamu bisa lebih efisien, dan ancaman nyata bisa segera ditangani sebelum terlambat.
Framework & Metodologi Paling Relevan (Tanpa Bikin Pusing Kepala Pemula)
Sebagai sysadmin atau SOC engineer pemula, kamu pasti sering mendengar istilah seperti MITRE ATT&CK, Diamond Model, Cyber Kill Chain, dan NIST Cybersecurity Framework. Awalnya, semua framework ini mungkin terdengar berat dan bikin kepala pening. Tapi, sebenarnya, framework-framework ini justru bisa jadi penyelamat—asal kamu tahu cara memanfaatkannya tanpa harus ‘study overload’.
Mengenal Framework Populer: Bukan Hafalan, Tapi Alat Bantu
Framework seperti MITRE ATT&CK sangat populer di dunia threat hunting. MITRE ATT&CK adalah katalog teknik serangan yang digunakan penyerang dunia nyata. Dengan framework ini, kamu bisa memahami pola serangan dan mencari jejaknya di sistem. Diamond Model membantu kamu menganalisis insiden dengan empat elemen utama: adversary, capability, infrastructure, dan victim. Cyber Kill Chain dari Lockheed Martin memetakan tahapan serangan dari awal sampai akhir. Sementara NIST memberikan panduan umum keamanan siber yang mudah diikuti.
Pilih Framework Sesuai Kebutuhan
Jangan merasa harus menguasai semuanya sekaligus. Pilih framework yang sesuai dengan:
- Skala tim kamu (apakah tim kecil atau besar?)
- Jenis aset yang kamu lindungi (server, endpoint, cloud, dll)
- Risiko utama yang sering dihadapi organisasi
Research shows, framework yang tepat akan membantu kamu fokus dan tidak mudah terdistraksi oleh hal-hal yang kurang relevan.
Simulasi Praktis: MITRE ATT&CK untuk Pemula
Coba lakukan simulasi sederhana. Misal, kamu ingin hunting aktivitas lateral movement di jaringan. Cari teknik terkait di MITRE ATT&CK, lalu cek log Windows Event atau SIEM untuk pola aneh sesuai teknik tersebut. Dengan latihan seperti ini, kamu akan lebih paham cara kerja threat hunting tanpa harus menghafal teori.
Framework = Peta Jalan Pemburu Digital
Bayangkan framework sebagai peta jalan. Kamu tidak harus tahu setiap detail, tapi cukup tahu arah dan tujuan. Framework membantu kamu tetap tenang saat menghadapi insiden, karena sudah ada langkah-langkah yang bisa diikuti.
Kapan Perlu Upgrade ke Metode Lebih Serius?
Jika organisasi makin besar, atau ancaman makin kompleks, kamu bisa mulai eksplorasi metode lanjutan seperti hypothesis-driven hunting atau adversary simulation. Namun, untuk pemula, cukup kuasai dasar framework dan praktikkan secara rutin.
Efek Nyata Framework: Respon Lebih Cepat, Minim Panik
Framework bukan sekadar teori. Dengan framework, kamu bisa mempercepat respon saat insiden dan mencegah panic reaction. Studi juga menunjukkan, tim yang menggunakan framework cenderung lebih siap dan efektif dalam mendeteksi serta menanggulangi ancaman.
‘Hunting Cycle’: Pola Santai, Hasil Maksimal
Jika kamu baru mulai terjun ke dunia threat hunting sebagai sysadmin atau SOC engineer, jangan bayangkan prosesnya selalu ribet dan penuh tekanan. Faktanya, hunting cycle bisa dijalankan dengan pola santai namun tetap menghasilkan temuan maksimal. Konsep dasarnya sederhana dan mudah diikuti, bahkan untuk pemula.
Langkah-Langkah Sederhana Threat Hunting Cycle
Threat hunting cycle biasanya terdiri dari empat tahap utama: trigger, investigasi, konfirmasi/mitigasi, dan laporan.
- Trigger: Proses hunting biasanya dimulai dari adanya pemicu, misalnya alert dari SIEM, threat intelligence, atau anomali aktivitas user.
- Investigasi: Setelah trigger muncul, kamu mulai menggali data lebih dalam. Cari pola, jejak, atau aktivitas yang tidak biasa.
- Konfirmasi/Mitigasi: Jika ditemukan indikasi ancaman, lakukan konfirmasi. Apakah benar ada malware, misconfig, atau aktivitas mencurigakan? Jika ya, lakukan mitigasi.
- Laporan: Semua temuan dan langkah mitigasi harus didokumentasikan. Ini penting untuk pembelajaran dan referensi ke depan.
Contoh Nyata: Dari SIEM Alert ke Temuan Malware
Bayangkan kamu mendapat alert dari SIEM tentang login aneh di server produksi. Setelah investigasi, ternyata ditemukan file mencurigakan yang belum terdeteksi antivirus. Setelah dicek, file itu adalah malware kecil yang mencoba mencuri data. Proses hunting sederhana ini bisa menyelamatkan sistem dari ancaman lebih besar.
Jangan Lewatkan Tahap Review Ulang
Seringkali insight terbaik justru muncul saat kamu melakukan review ulang setelah hunting selesai. Banyak hunter pemula yang melewatkan tahap ini, padahal di sinilah kamu bisa menemukan pola baru atau cara pencegahan yang lebih efektif.
Siklus Berulang, Hasil Lebih Tajam
Threat hunting bukan proses sekali jalan. Dengan mengulang siklus hunting dan memasukkan feedback ke sistem (misal, menambah rule SIEM atau update playbook), hunting jadi makin efektif. Studi dan pengalaman tim keamanan menunjukkan, siklus berulang membuat deteksi ancaman makin tajam dan responsif.
Analogi Wild Card: Meracik Kopi Sesuai Selera Tim
Setiap tim punya gaya hunting sendiri. Seperti meracik kopi, kamu bisa menyesuaikan metode, tools, dan fokus hunting sesuai kebutuhan tim. Tidak ada resep baku—yang penting hasilnya optimal.
Checklist Praktis Setelah Hunting
- Dokumentasi detail temuan dan langkah mitigasi
- Catat insight atau pola baru untuk referensi berikutnya
- Bagikan hasil hunting ke tim IR agar respons lebih cepat jika kasus serupa muncul
Panduan Singkat: Metode Hunting Favorit (Anti Bingung untuk Pemula)
Sebagai sysadmin atau SOC engineer pemula, kamu mungkin sering mendengar istilah threat hunting tapi bingung harus mulai dari mana. Jangan khawatir—ada beberapa metode hunting favorit yang bisa kamu coba, bahkan di lingkungan kantor kecil sekalipun. Yuk, kenali satu per satu!
Hypothesis Driven Hunting: Mulai dari Dugaan Kecil
Metode ini cocok buat kamu yang suka berpikir kritis. Intinya, kamu mulai dari sebuah hipotesis atau dugaan kecil. Misal, “Apakah ada user yang login di luar jam kerja?” Dari sini, kamu cek log dan pola aktivitas. Jika ada kejanggalan, lanjutkan investigasi. Research menunjukkan, pendekatan ini efektif untuk menemukan ancaman yang tidak terdeteksi oleh sistem otomatis. Tapi, pastikan hipotesis kamu jelas dan terukur supaya tidak buang waktu.
Data Driven Hunting: Andalkan Data & SIEM Alert
Kalau kamu lebih suka bermain dengan data, metode ini bisa jadi pilihan. Kamu mulai dengan menelusuri anomali dari big data atau alert otomatis dari SIEM. Contohnya, tiba-tiba ada lonjakan traffic ke server tertentu. Dari situ, kamu gali lebih dalam: apakah ini aktivitas normal atau tanda-tanda serangan? Studi kasus di kantor kecil: seorang admin menemukan pola login gagal berulang dari satu IP, lalu mendeteksi brute force attack sebelum terjadi kerusakan.
Adversary Simulation: Berpura-pura Jadi Attacker
Metode ini seru sekaligus menantang. Kamu dan tim mencoba memposisikan diri sebagai penyerang, lalu mencari celah di sistem sebelum orang lain menemukannya. Misalnya, kamu mencoba akses ke folder sensitif tanpa izin, lalu cek apakah sistem mendeteksi aktivitas tersebut. Menurut framework MITRE ATT&CK, simulasi seperti ini sangat membantu meningkatkan kesiapan tim keamanan.
Studi Kasus Nyata di Kantor Kecil
- Hypothesis Driven: Admin menduga ada user yang menyalahgunakan akses remote, lalu menemukan malware tersembunyi.
- Data Driven: SIEM mengirim alert traffic aneh, ternyata ada script mining berjalan di server lama.
- Adversary Simulation: Tim mencoba phishing internal, dan berhasil menemukan celah pada email gateway.
Kapan Gabungkan Metode? Waspada Overanalysis!
Kadang, kamu perlu menggabungkan beberapa metode sekaligus. Tapi, hati-hati dengan overanalysis. Tanda-tandanya? Kamu terlalu lama di satu kasus, data makin banyak tapi solusi makin kabur. Jika ini terjadi, coba kembali ke hipotesis awal atau diskusikan dengan tim.
Wild Card: Kompetisi Internal Hunting
Biar hunting makin seru, adakan kompetisi internal: siapa paling cepat temukan indikator unik di log server? Selain menambah skill, cara ini juga memperkuat kerja sama tim.
From Zero to Hero: Upgrade Skillset dan Sumber Belajar Mudah (yang Benar-benar Asik!)
Kamu baru mulai terjun ke dunia threat hunting? Tenang, kamu nggak sendirian. Banyak sysadmin dan SOC engineer pemula merasa bingung harus mulai dari mana. Padahal, dengan pendekatan yang tepat, proses upgrade skillset ini bisa jadi seru dan nggak membosankan. Yuk, kita bahas langkah-langkah dan sumber belajar yang benar-benar asik!
Pilihan Training & Course: Lokal dan Internasional, Cocok untuk Pemula
Sekarang, banyak banget pilihan training threat hunting yang bisa kamu akses, baik dari dalam negeri maupun luar. Untuk pemula, coba cek Cyber Security Indonesia (CSI) yang sering mengadakan workshop dan webinar gratis. Kalau mau yang lebih mendalam, Dicoding dan Progate juga punya materi keamanan siber dasar.
Di level internasional, research shows platform seperti Cybrary, TryHackMe, dan SANS Cyber Aces menawarkan kursus yang ramah pemula. Banyak materi yang bisa diakses gratis, dan kamu bisa belajar dengan pace sendiri. Jangan ragu untuk mulai dari yang paling dasar, karena threat hunting itu tentang proses bertahap.
Belajar dari Komunitas: Forum, Telegram, dan Sharing Kasus Nyata
Belajar nggak harus selalu sendirian. Gabung ke forum komunitas seperti Indonesia Cyber Security Forum di Facebook, atau grup Telegram seperti Cyber Security Indonesia dan SIG Threat Hunting. Di sana, kamu bisa diskusi, tanya jawab, bahkan dapat insight dari kasus nyata yang pernah terjadi di Indonesia.
Sering kali, pengalaman nyata dari komunitas lebih relate daripada teori di textbook. Seperti kata salah satu anggota forum,
“Belajar bareng komunitas bikin lebih semangat, karena bisa langsung tanya kalau mentok.”
Tips Personal: Jadwalkan Belajar & Track Progres
Supaya nggak gampang lupa, coba buat jadwal belajar mingguan. Misal, setiap Sabtu pagi kamu dedikasikan 2 jam untuk belajar threat hunting. Catat progres di notion atau Google Docs sederhana. Dengan tracking ini, kamu bisa lihat perkembanganmu dari waktu ke waktu.
Peran Threat Intelligence & Indicators of Compromise
Untuk pemula, threat intelligence dan indicators of compromise (IoC) sangat membantu. IoC seperti hash file, IP address, atau domain berbahaya bisa jadi trigger awal hunting. Banyak platform open source seperti AlienVault OTX dan VirusTotal yang menyediakan data ini secara gratis.
Wild Card: Belajar Lewat Vlog & TikTok, Gaya Casual Lebih Efektif?
Jangan remehkan kekuatan vlog atau TikTok! Banyak konten kreator keamanan siber yang membahas threat hunting dengan gaya santai, bahkan kadang pakai meme. Studi menunjukkan, gaya belajar visual dan casual lebih mudah dicerna ketimbang baca textbook panjang. Coba cari channel seperti CyberWarrior di YouTube atau TikTok, dan rasakan sendiri bedanya.
Kesalahan Klasik & Soft Skill: Antara Skeptis Data vs Overreacting
Dalam dunia threat hunting, khususnya bagi kamu yang baru terjun sebagai sysadmin atau SOC engineer, ada satu jebakan klasik yang sering terjadi: terlalu percaya pada satu sumber alert atau satu tools tanpa melakukan cross-check. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal mindset. Banyak pemula yang merasa sudah “aman” jika dashboard SIEM atau EDR mereka tenang, atau sebaliknya, langsung panik ketika ada satu alert merah menyala. Padahal, research shows bahwa threat hunting yang efektif justru membutuhkan sikap skeptis yang sehat—tidak mudah percaya, tapi juga tidak langsung berasumsi terburuk.
Salah satu soft skill yang sangat penting di sini adalah kemampuan komunikasi. Kamu harus bisa berdiskusi dengan tim, bertanya, dan bahkan berdebat sehat soal temuan. Kolaborasi di dalam tim SOC sangat krusial, karena threat hunting bukan kerja individu. Seringkali, insight terbaik justru muncul dari diskusi santai atau brainstorming bareng rekan satu tim. Selain itu, skeptis data secukupnya adalah kunci. Jangan langsung percaya pada satu alert tanpa melihat konteks data lain. Misalnya, ada alert dari SIEM tentang aktivitas mencurigakan, tapi setelah dicek lebih lanjut, ternyata itu hanya script legal yang dijalankan oleh admin lain. Kalau kamu langsung panik dan “teriak breach”, bisa-bisa satu kantor ikut heboh tanpa alasan jelas.
Contoh nyata yang sering terjadi adalah false alarm—script legal dianggap sebagai virus, lalu terjadi kepanikan massal. Ini bukan hanya membuang waktu, tapi juga bisa menurunkan kepercayaan tim pada sistem alert yang sebenarnya penting. Di sinilah pentingnya mengakui kesalahan dalam proses hunting. Jangan takut salah. Anggap saja setiap kesalahan sebagai proses belajar, bukan kegagalan mutlak. Seperti kata pepatah, “Lebih baik salah tapi belajar, daripada tidak pernah mencoba sama sekali.”
Ada satu analogi menarik: threat hunter itu seperti detektif kampung. Kadang tebakanmu benar, kadang juga kelewat liar. Jangan baper kalau dugaanmu ternyata meleset jauh. Yang penting, kamu punya checklist mental sebelum “teriak breach”—cek ulang data, pastikan semua informasi sudah diverifikasi, dan diskusikan dengan tim. Dengan begitu, kamu tidak hanya jadi detektif digital yang andal, tapi juga rekan kerja yang bisa diandalkan.
Akhirnya, threat hunting bukan sekadar soal teknologi atau tools canggih. Ini tentang bagaimana kamu berpikir kritis, berkomunikasi, dan belajar dari setiap proses. Dengan sikap skeptis yang pas, kolaborasi tim yang solid, dan mentalitas belajar, kamu siap menghadapi ancaman digital—tanpa overreacting, tanpa kehilangan akal sehat.